Minggu, 30 November 2014

Hukum Minimum Liebig dan Toleransi Shelford

Hukum Minimum Liebig dan Hukum Toleransi Shelford 
Justus Liebig (1803-1873), seorang perintis ilmu kimia modern lahir di Darmstadt, Jerman pada tanggal 12 Mei 1803. Pada tahun 1840, Liebig mengemukakan teorinya yang dinamakan Hukum Minimum Liebig (Law of Minimum). Berikut bunyi hukum minimum Liebig :
Untuk dapat bertahan dan hidup dalam keadaan tertentu, suatu organisme harus memiliki bahan-bahan yang penting diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, keperluan-keperluan dasar ini bervariasi antara jenis dan dengan keadaan” (Rahardjanto, 2001).
Maksudnya, di bawah keadaan-keadaan mantap bahan yang penting yang tersedia dalam jumlah paling dekat mendekati minimum yang genting yang diperlukan akan cenderung merupakan pembatas. Namun, hukum minimum ini kurang dapat diterapkan di bawah keadaan sementara apabila jumlah, pengaruhnya dari bahan sangat cepat berubah.  Liebig menyatakan bahwa jumlah bahan utama yang dibutuhkan apabila mendekati keadaan minimum kritis cenderung menjadi pembatas (Rahardjanto, 2001).
Selain itu, dalam FAO, 1970 dalam Blair, 1979 dituliskan isi hukum minimum Liebig yaitu  “The amount of plant growth is regulated by the factor prosent in minimum amount and rises or falls accordingly as this is increased or decreased in amount “. Yang artinya adalah “Laju pertumbuhan tanaman diatur oleh adanya faktor yang berada dalam jumlah minimum dan besar kecilnya laju pertumbuhan ditentukan oleh peningkatan dan penurunan faktor yang berada dalam jumlah minimum tersebut”.
Sedangkan hukum toleransi Shelford menyatakan :
Kehadiran dan keberhasilan suatu organisme tergantung kepada lengkapnya kompleks-kompleks keadaan. Ketiadan atau kegagalan suatu organisme dapat dikendalikan oleh kekurangan atau kelebihan secara kualitatif dan kuantitatif dari salah satu beberapa faktor yang mungkin mendekati batas-batas toleransi organisme tersebut” (Rahardjanto, 2001). Sehingga selama perubahan (kelebihan atau pun kekurangan suatu faktor) masih dalam batas toleransi maksimum suatu organisme, maka hal ini tidak akan berpengaruh terlalu besar pada kelangsungan hidup organisme tersebut.
Misalnya pada tanaman. Untuk bisa melangsungkan kehidupannya, tanaman membutuhkan berbagai faktor seperti cahaya matahari, suhu, CO2, air, unsur hara dan lain-lain (Lakitan, 2004). Jika salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan kurang optimalnya pertumbuhan tanaman tersebut. Bahkan, jika hilangnya salah satu unsur ini berlangsung terus-menerus dan diikuti dengan hilangnya unsur yang lain maka dapat menyebabkan kematian pada tanaman itu sendiri. Akan tetapi dengan adanya daya toleransi dari tanaman itu sendiri akan membuat kesempatan hidup pada tanaman menjadi lebih besar, walaupun keadaannya akan menjadi kurang optimal. Hal ini dapat dilihat pada pengaruh cahaya matahari terhadap percepatan tumbuh tanaman.
Tanaman membutuhkan cahaya matahari untuk membantu melangsungkan kehidupannya. Banyaknya cahaya yang dibutuhkan tidak selalu sama pada setiap tanaman. Umumnya, tanaman membutuhkan cahaya matahari dalam jumlah banyak untuk memproduksi energi (ATP) melalui proses fotosintesis. Namun, ketika tanaman itu masih dalam masa pertumbuhan dari biji menjadi kecambah, jumlah cahaya matahari yang terlalu banyak justru akan mengurangi percepatan tumbuh tanaman itu sendiri. Hal ini terkait dengan adanya hormon, dan zat pengatur tumbuh, seperti auksin, giberelin, sitokinin, etilen, asam absisat, dan beberapa senyawa lain yang kesemuanya sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Salisbury, 1995).
Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respons fisiologis (Salisbury, 1995). Auksin (dari bahasa Yunani auxein, “meningkatkan”) merupakan hormon yang berperan dalam pertumbuhan tanaman dan terjadinya fototropisme pada tanaman. Terdapat tiga jenis auksin, yaitu asam 4-kloroindolasetat (4-kloroIAA) yang ditemukan pada biji kacang-kacangan, asam fenilasetat (PAA) dan asam indolbutirat (IBA), keduanya terdapat pada berbagai jenis tanaman (Salisbury, 1995).

Dari uraian di atas, diketahui bahwa dalam hal ini cahaya matahari cenderung menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman (dari biji menjadi kecambah). Walaupun demikian, tanaman yang terkena cahaya matahari langsung tetap akan dapat hidup, hanya saja tanaman tersebut menjadi tidak dapat tumbuh tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar